Di tengah era digital dan perubahan sosial yang sangat cepat, dunia pendidikan menghadapi tantangan yang semakin kompleks. Sekolah tidak lagi cukup hanya berfokus pada pencapaian akademik semata. Dalam konteks ini, membentuk karakter siswa menjadi kebutuhan yang sangat mendesak dan esensial.
Realitas menunjukkan bahwa generasi pelajar saat ini tumbuh dalam lingkungan yang penuh distraksi—gawai, media sosial, budaya instan, dan kemudahan akses informasi yang tidak selalu sehat. Sering kali, hal ini berdampak pada menurunnya kepekaan sosial, kurangnya empati, lemahnya tanggung jawab, serta rendahnya toleransi terhadap perbedaan.
Sejumlah studi menunjukkan bahwa perilaku tidak disiplin, kurangnya sopan santun, hingga lemahnya semangat belajar menjadi isu yang sering ditemui di sekolah-sekolah. Ini menunjukkan bahwa pendidikan karakter bukan hanya penting, tapi mendesak untuk diperkuat.
Menurut Lickona (1991), pendidikan karakter adalah upaya yang disengaja untuk membantu seseorang memahami, peduli, dan bertindak berdasarkan nilai-nilai etika. Karakter tidak terbentuk secara otomatis, melainkan melalui proses pendidikan yang terus-menerus, baik melalui pembelajaran formal, pembiasaan, maupun keteladanan.
Sekolah adalah tempat strategis untuk menanamkan nilai-nilai karakter. Di sinilah siswa belajar disiplin, tanggung jawab, kejujuran, kerja sama, dan empati. Bahkan dalam keberagaman—baik suku, agama, maupun budaya—sekolah menjadi laboratorium sosial yang mengajarkan toleransi dan saling menghargai.
SMAN 1 Seputih Raman, sebagai contoh, merupakan sekolah yang heterogen, yang terdiri dari berbagai latar belakang siswa. Dalam keberagaman tersebut, justru tumbuh semangat persatuan dalam perbedaan, di mana karakter baik ditanamkan melalui kegiatan keagamaan, upacara, organisasi, dan pembiasaan positif sehari-hari.
Pakar pendidikan Indonesia, Ki Hadjar Dewantara, pernah mengatakan:
“Pendidikan itu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.”
Hal ini menegaskan bahwa pendidikan tidak hanya bertujuan mencerdaskan otak, tapi juga membentuk watak dan budi pekerti.
Beberapa strategi yang dapat dilakukan sekolah dalam membentuk karakter siswa antara lain:
Keteladanan Guru
Guru adalah role model utama di sekolah. Perilaku guru yang jujur, disiplin, dan menghargai perbedaan akan menjadi contoh nyata bagi siswa.
Pembiasaan Positif
Seperti membiasakan salam, senyum, sapa, membuang sampah pada tempatnya, datang tepat waktu, dan tanggung jawab terhadap tugas.
Pembelajaran Kontekstual
Mata pelajaran disampaikan dengan pendekatan yang tidak hanya menyentuh aspek kognitif, tetapi juga afektif dan psikomotorik.
Kegiatan Ekstrakurikuler dan Organisasi
Kegiatan ini sangat efektif dalam melatih kepemimpinan, kerja sama, kedisiplinan, dan empati.
Penegakan Aturan dan Pemberian Apresiasi
Aturan yang jelas dan adil, disertai apresiasi terhadap perilaku positif, sangat penting untuk memperkuat budaya karakter di sekolah.
Pendidikan karakter bukan sekadar pelengkap dalam kurikulum, tapi merupakan pondasi utama dalam menyiapkan generasi penerus bangsa. Kita sedang menyiapkan anak-anak muda yang kelak akan menghadapi Indonesia Emas 2045—mereka adalah penentu arah bangsa, bukan sekadar peserta didik.
Sebagaimana disampaikan oleh Thomas Lickona:
“Character education is not a frill; it is a necessity. It is not just the job of the family, nor just the job of the school; it is the job of the whole community.”
Dengan demikian, membentuk karakter siswa bukan hanya tanggung jawab guru dan sekolah, tapi juga kolaborasi seluruh pihak—orang tua, masyarakat, dan negara.
Masa depan Indonesia akan sangat ditentukan oleh nilai-nilai karakter yang tertanam kuat pada generasi muda hari ini. Oleh karena itu, mari kita bersama-sama membangun ekosistem pendidikan yang tidak hanya mencerdaskan, tetapi juga memanusiakan.
Referensi:
Lickona, T. (1991). Educating for Character: How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility. New York: Bantam Books.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (2017). Penguatan Pendidikan Karakter (PPK). Jakarta: Kemendikbud.
Tilaar, H.A.R. (2002). Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia. Jakarta: Grasindo.